Sunday, March 20, 2011

Kampung Melayu - Grogol

Pagi ini kutarik kembali vespa butut itu keluar gang sempit rumahku.

Jam 4.38 pagi. Anak2 belom bangun. Istri masih sibuk nyuci baju tetangga. Padahal bajuku sendiri belum ada yang dicuci.

Setelah capek kuengkol berjuta kali, akhirnya idup juga itu mesin butut. Ku gas dengan segera, walaupun tak ingin rasanya berjalan pagi ini.

Sampai depan jalan arteri, bergabunglah aku dengan berjuta mahluk-mahluk tanpa muka tanpa ekspresi. Ketutup sapu tangan, sapu ijuk dan sapu kamar mandinya.

Kami semua berjalan kearah yang sama, satu tempat diluar sana di ibukota.

Hari itu hujan, lagi. Lagi-lagi hujan. Dua ratus lima puluh sembilan pengendara motor berhenti dibawah jembatan. Aku tidak mau, karena kalau aku telat, bisa diambil bus-ku sama si Tigor, berandalan bau asem dari kota tua. Padahal itu bus yang paling baik jalannya. Dibanding bus lain yang setiap tiga kilo berenti, pintunya macet atau bau kentut.

Dua pohon tumbang dan entah berapa sumpah-serapah kemudian. Sampai aku di Grogol. Haha, si Tigor belum bangun, itu ketiak asamnya masih menganga di depan toilet.

Buru-buru aku pesen teh manis anget sama Yu Yeti, langganan utanganku di terminal. Lalu melompatlah aku kedalam bus kesayanganku, warna putih bergaris oranye yang paling depan dan sudah mulai penuh penumpang.

Kemana itu si topan, kenek yang biasanya jam segini sudah sibuk berteriak-teriak dengan suara bariton seremnya mencari dan menggoda penumpang, mencoba memaksa dan menipu mereka agar menaiki bus kami. Itu dia rupanya, sedang mengorek upil keluar dari idungnya.

Kumaki dan kubentak dia, agar berenti mengais upil dan mulai mencari mangsa.

Tak butuh lama, kamipun berangkat. Tujuan Kampung Melayu.

Setiap hari beginilah idupku. Kampung Melayu - Grogol - Kampung Melayu - Grogol - Kampung Melayu - Grogol - Kampung Melayu - Grogol - Kampung Melayu - Grogol - Kampung Melayu - Grogol - Kampung Melayu - Grogol .... siyall.

Tanpa tujuan hidup, kalau aku punya tujuan, untuk apalah aku bolak-balik macam setrikaan belum panas setiap hari menembus macet jakarta yang tak kenal bulu, tak kenal ketek dan tak kenal waktu, cuma presiden saja dan keluarganya yang bisa jalan tanpa macet di kota penuh asap tebal seperti kabut ini. Ingin rasanya kulempar orang-orang yang pergi pulang naik helikopter itu. Pasti mereka mentertawakan aku yang tiap hari selalu Kampung Melayu - Grogol - Kampung Melayu - Grogol - Kampung Melayu - Grogol - siyall.

Sialan si Zulfan itu, entah darimana dia dapat mp3 player yang bisa dia bawa sambil menyupir, mendengarkan lagu-lagu apa dia. Macam betul aja. Minggu lalu, keneknya kesal dan mogok makan, gara-gara tak didengarkan teriakannya minta bus berenti karena ada sewa mau naik dan sewa mau turun. Hampir ditimpuk pala peang si Zul dengan batu bata. Untung ada bapak2 yang sigap menyadarkannya, mungkin takut kena ditimpuk bapak tu.

Malam ini aku mau pulang jalan kaki saja. Biar saja, biar puas aku bakar vespa butut itu yang sudah mogok ke sepuluh ribu kalinya dalam dua tahun ini.

Pukul 2 pagi aku akhirnya sampe rumah. Itupun setelah lari tunggang langgang dikejar2 satpol pp disangka pecundang taman lawang. Siyall. Tak liat dari bauku saja sudah beda. Asem campur oli begini. Mana tadi kulupa menghutang nasi di Yu Yeti, lapar aku.

Biniku sudah tidur, kucoba bangunkan demi servis segelas kopi, "Bin.. bin..." menggeliat saja dia sambil kakinya menyepak mukaku. Jatuhlah aku terduduk dilantai semen rumah petak kami ukuran 3x3 pas disamping kuburan.

Tidurlah aku. Agar kubisa bangun lagi jam 4 nanti. Memulai kembali naskah hidupku yang sepertinya hanya ditulis satu lembar dan diulang-ulang kayak lagu kangen band.

Kampung Melayu - Grogol - Kampung Melayu - Grogol - Kampung Melayu - Grogol - Kampung Melayu - Grogol - Kampung Melayu - Grogol - Kampung Melayu - Grogol - Kampung Melayu - Grogol... siyal.

No comments:

Post a Comment